Kita, sebagai umat Islam memiliki kalender yang memiliki ciri khas nama dan sejarahnya sendiri. Namanya kalender Hijriyah yang menggunakan standar kalender Qamariyah.
Jika di kalender Masehi kita kenal nama hari Minggu, dalam kalender Hijriyah kita kenal dengan nama hari Ahad.
Model penanggalan kalender Qamariyah sudah ada sejak sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus menjadi seorang Rasul.
Disebut dengan kalender Hijriyah karena awal tahunnya ditetapkan berdasarkan hari di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Momentum hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah momentum pemisah antara al-Haq dan al-Bathil. Momen pemisah antara kebenaran dan kebatilan.
Hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Mekah ke Madinah adalah titik perubahan. Menjadi titik permulaan pembentukan tatanan masyarakat islami yang mandiri. Berdikari dalam politik dan ekonomi, berkemajuan dalam pemikiran dan peradaban.
Tercatat dalam sejarah, betapa beratnya ujian yang dirasakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Mulai dari cacian, hinaan, tuduhan, intimidasi, penyiksaan fisik dan mental, dan lainnya.
Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu, saat itu statusnya sebagai budak milik Umayah bin Khalaf. Majikannya mengalungkan tali di lehernya. Lalu ditelantarkan untuk dijadikan mainan anak-anak Quraisy saat itu.
Tak puas dengan siksaan tersebut, Umayah menindihkan batu besar di atas perutnya. Di atas hamparan pasir gurun yang begitu panas. Lalu dipaksa untuk mengikrarkan kesetiaannya kepada patung yang disembah oleh majikannya.
Abu Fakihah radhiyallahu ‘anhu, juga mendapat siksa. Orang-orang Quraisy menyeretnya di siang hari. Dalam cuaca yang sangat panas. Kedua kakinya diikat dengan rantai besi. Ia ditelanjangi. Lalu orang Quraisy meletakkan batu besar di punggungnya. Hingga ia kesakitan tak bisa bergerak.
Khabab bin al-Arat radhiyallahu ‘anhu. Seorang pandai besi. Setelah ia masuk Islam, majikannya meletakkan besi panas di atas punggungnya. Majikannya memaksa dirinya agar mau mengingkari kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Belum lagi ujian yang dihadapi sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang-orang Quraisy menuduhnya sebagai penyihir. Pembesar-pembesar Quraisy melabeli beliau dengan sebutan pemberontak terhadap tradisi dan budaya Quraisy. Beliau mendapatkan tekanan fisik dan mental.
Kemudian Allah subhanahu wata’ala memerintahkan beliau untuk berhijrah ke Madinah. Dan inilah titik permulaan tatanan peradaban Islam mulai tumbuh.
Kemudian pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab, sekira tahun ketiga atau keempat masa kepemimpinannya, seorang sahabat, Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu mengirimkan sepucuk surat kepada beliau.
Abu Musa radhiyallahu ‘anhu mengadu kepada amirul mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu perihal surat-surat dari amirul mukminin yang tidak ada keterangan tahunnya.
Kemudian Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan beberapa sahabat lainnya untuk berdiskusi, bahtsul masail tentang masalah tersebut.
Dalam suasana diskusi itu, ada sahabat yang usul untuk menandai surat dengan penanggalan seperti yang digunakan oleh orang Persia saat itu. Usulan ini ditolak oleh sahabat lainnya.
Ada lagi yang usul agar menandai surat dengan penanggalan yang dipakai oleh orang Romawi saat itu. Lagi-lagi usulan ini ditolak oleh sahabat lainnya.
Ada lagi yang usul supaya menandai surat dengan tanggalan yang dimulai dari hari lahirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagian lain usul, dimulai dari hari diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi rasul. Sebagian lagi usul, dimulai dari hari hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Usulan yang terakhir ini, menandai tanggalan dengan hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ke Madinah akhirnya menjadi usulan yang disepakati oleh seluruh sahabat yang hadir saat itu.
Kemudian Umar bin Khattab berkata, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi’i dalam kitab Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, jilid 7, halaman 268,
“Peristiwa hijrah telah memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. Maka, jadikanlah hari itu sebagai tanda penanggalan.”
Dalam musyawarah itu semua sepakat. Hitungan tahun dalam Islam dimulai dari hari terjadinya hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari Mekah ke Madinah.
Kemudian bahtsul masail antara beberapa sahabat tadi berlanjut pada persoalan berikutnya, yakni penentuan bulan pertama dalam tahun baru Hijriyah.
Ada sahabat yang usul dimulai dari bulan Ramadhan. Lalu Umar bin Khattab memutuskan,
“Dimulai dari bulan Muharram. Sebab, bulan itu adalah bulan kembali pulangnya orang-orang dari ibadah Haji.”
Semua sahabat yang hadir dalam musyawarah sepakat.
Inilah hasil ijtihad sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hasil ijtihad ini wajib dikuti oleh seluruh kaum muslimin.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, hadits nomor 4607,
“Maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.”
Kenapa kita harus paham tentang sejarah penetapan tahun baru Hijriyah ini? Karena, kalender Hijriyah adalah kalender yang dijadikan ukuran dalam pelaksanaan ibadah kaum muslimin.
Puasa Ramadhan, hitungannya adalah bulan Ramadhan, bukan tanggal Masehi. Hari Raya Idul Fitri, penetapannya menggunakan kalender Hijriyah 1 Syawal, bukan kalender Masehi. Hari raya Idul Adha, penetapannya menggunakan kalender Dzulhijjah, bukan dengan kalender Masehi.
Puasa Ayyamul Bidh, puasa sunnah tiga hari setiap pertengahan bulan, penentunya adalah kalender Hijriyah, bukan kalender Masehi.
Ukuran Haul satu tahun dalam penghitungan zakat mal, ukurannya adalah satu tahun kalender Hijriyah, bukan kalender Masehi.
Kemudian, asyhurul hurum, bulan-bulan yang suci, ditentukan dengan kalender Hijriyah, bukan Masehi. Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Bulan-bulan ini sangat Allah muliakan. Penganiayaan dan kezaliman yang dilakukan di bulan-bulan tersebut dosanya lebih besar dari pada yang dilakukan di bulan lainnya.
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat at-Taubah ayat 36,
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu.”
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih al-Bukhari, hadits nomor 4662,
“Sesungguhnya waktu terus berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhar yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengajarkan doa khusus yang dibaca khusus ketika akhir tahun atau doa khusus awal tahun baru Hijriyah. Namun demikian, secara umum, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan umat-Nya untuk selalu berdoa kepada-Nya, kapan pun. Maka, mari terus berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala di sepanjang waktu. Hanya kepada-Nya kita meminta dan memohon pertolongan.