عن أبي محمد الحسن بن علي بن أبي طالب سبط رسول الله صلى الله عليه وسلم وريحانته رضي الله عنهما قال حفظت من رسول الله صلى الله عليه وسلم ” دع ما يريبك إلى ما لا يريبك ” رواه الترمذي وقال : حديث حسن صحيح
Dari Abu Muhammad, Al Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, cucu Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan kesayangan beliau radhiallahu ‘anhuma telah berkata : “Aku telah menghafal (sabda) dari Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, bergantilah kepada apa yang tidak meragukan kamu “. (HR. Tirmidzi dan berkata Tirmidzi : Ini adalah Hadits Hasan Shahih) [Tirmidzi no. 2520, dan An-Nasa-i no. 5711] Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib ra. cucu kesayangan Rasulullah saw. berkata, Aku hafal sabda Rasulullah saw., “Tinggalkan perkara yang meragukanmu dan kerjakan perkara yang tidak meragukanmu.” (HR Tirmidzi dan Nasa-i, Tirimidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)
URGENSI HADITS
Hadits ini merupakan jawami’ul kalim (ucapan yang singkat dan padat). Sebuah ungkapan yang pendek namun mengandung kaidah yang penting dalam Islam. Dasar tersebut adalah meninggalkan syubhat [keraguan] dan memilih yang halal dan diyakini. Ibnu Hajar al-Haitamy berkata, “Hadits ini merupakan kaidah yang sangat penting dan dasar dari sikap wara’ yang merupakan poros dari ketakwaan, juga penyelamat dari keraguan dan ketidakjelasan yang menghalangi cahaya keyakinan.”
KANDUNGAN HADITS
1. Meninggalkan syubhat. Meninggalkan syubhat dan kometmen terhadap yang halal dalam masalah apapun, ibadah, muamalah, munakahat [pernikahan] dan berbagai permasalahan lainnya, dapat mengarahkan seorang muslim kepada sikap wara’ yang sangat potensial untuk menangkal bisikan setan. Hal ini akan mendatangkan manfaat yang besar baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam hadits ke enam telah disebutkan barangsiapa yang menghindari perkara syubhat, maka agama dan kehormatannya akan terjaga.
Sesuatu yang halal dan jelas tidak akan menimbulkan keraguan dalam hati seorang mukmin, bahkan akan melahirkan ketenangan dan kebahagiaan. Adapun sesuatu yang syubhat, meskipun ketika seseorang melakukannya tampak tidak ada masalah, namun andai kita belah dadanya tentulah akan kita jumpai keraguan dan kegundahan. Ini adalah satu bentuk kerugian dan siksaan mental. Kerugian itu akan semakin besar bilamana seseorang senantiasa melakukan sesuatu yang syubhat dan akhirnya terjerumus ke dalam lembah haram. Ingatlah bahwa orang yang menggembala di sisi pagar, lama-kelamaan akan melanggar pagar tersebut.
2. Berbagai ucapan dan sikap salafus shalih berkenaan dengan sesuatu yang meragukan. Abu Dzar al-Ghifari ra. berkata: “Kesempurnaan ketakwaan adalah meninggalkan beberapa hal yang halal, karena takut hal itu haram.” Abu Abdurrahman al-‘Umry berkata: “Jika seseorang memilih ke-wara’an, niscaya dia akan meninggalkan sesuatu yang diragukan dan mengerjakan sesuatu yang tidak meragukan.”
Fudhail berkata: “Banyak orang mengira bahwa orang yang wara’ itu sangat tegas. Jika aku dihadapkan pada dua perkara, tentu aku akan memilih yang terberat. Karenanya, tinggalkan perkara yang meragukan dan pilihlah perkara yang tidak meragukan.”
Hasan bin Abi Sinan, “Tidak ada yang lebih ringan dari wara’. Jika ada sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah.”
Adapun sikap dan perbuatan mereka berkaitan dengan perkara syubhat, tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka ucapkan. Sebagai contoh Yazid bin Zurai’. Ia tidak mengambil sedikitpun warisan dari ayahnya. Karena ayahnya adalah pegawai kerajaan dan ia khawatir jika warisan tersebut tidak halal.
Contoh lain Ibrahim Adham yang tidak mau minum air Zam-Zam, dengan alasan timba yang digunakan mengambil air tersebut milik penguasa, maka dikhawatirkan tidak halal. Dan banyak lagi contoh yang lainnya.
Beberapa kalangan beranggapan bahwa sikap-sikap di atas adalah berlebih-lebihan. Namun umat Islam perlu sekali teladan seperti itu. Agar mereka senantiasa bertumpu pada berbagai hal yang jelas dan halal, serta menghindari perkara-perkara syubhat. Andai contoh-contoh semacam ini tidak ada, tentulah lambat laun umat Islam akan terjerumus ke dalam lembah syubhat dan bahkan mungkin juga haram.
3. Jika keraguan berbenturan dengan keyakinan.
Dalam kondisi seperti ini kita pilih yang yakin, sebagaimana disebutkan dalam kaidah fiqih: “Al yaqiinu laa yuzulu bi syakk” (keyakinan tidak bida dihilangkan dengan keraguan). Sebagai contoh: seseorang berwudlu, lalu ragu-ragu apakah wudlunya batal atau tidak. Maka wudlunya tetap dianggap sah. Kaidah ini juga didasari oleh hadits Nabi saw: “Jika salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu di perutnya, lalu ia ragu-ragu, apakah telah keluar angin atau belum, maka janganlah keluar dari masjid hingga mendengar suara kentut atau mencium baunya.” (HR Muslim)
4. Orang yang meninggalkan syubhat adalah orang yang telah istiqamah dalam melaksanakan yang halal dan meninggalkan semua hal yang haram.
Logikanya, bagaimana seseorang mampu meninggalkan berbagai hal yang syubhat, sementara ia masih bergelimang dengan perkara-perkara yang haram. Orang seperti ini seharusnya membenahi dirinya dengan terlebih dahulu meninggalkan berbagai hal yang haram. Karena itulah ketika Ibnu Umar ra. ditanya oleh penduduk Irak perihal darah nyamuk, ia berkata: “Kalian bertanya kepadaku perihal darah nyamuk?….. sementara kalian telah membunuh Husain.”
5. Jujur adalah kedamaian, sedangkan kebohongan adalah kegundahan.
Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan kebohongan adalah kegundahan [keraguan]” merupakan isyarat untuk selalu jujur dalam segala hal, termasuk ketika menjawab satu pertanyaan, atau memberi fatwa. Adapun tanda dari kejujuran adalah ketenangan hati, sedangkan tanda kebohongan adalah kegundahan yang menyebabkan hatinya tidak tenang.
6. Hadits ini merupakan isyarat agar kita menetapkan berbagai hukum dan menjalankan semua permasalahan dalam kehidupan atas dasar keyakinan dan bukan keragu-raguan.
7. Sesuatu yang halal, kebenaran, dan kejujuran akan mendapatkan kedamaian dan keridlaan. Sedangkan sesuatu yang haram, kebatilan dan dusta akan melahirkan rasa gundah dan kebencian.
Disalin dari kitab alwafi syarh hadis arba’in an-nawawiyah)